Selasa, 14 Desember 2010

kasus jayus

Jayus dan Kasus Talangsari (Lampung) 1989

Penulis: 
Riyanto
PADA harian Republika edisi Senin, 30 April 2007, diberitakan tentang sosok Jayus, yang disebut-sebut sebagai salah satu tokoh di balik tragedi Talangsari. Menurut pengakuan Jayus, ia menyaksikan adanya ratusan korban meninggal yang dimakamkan di sekitar Talangsari akibat kejadian itu.
 
Bukan sekali ini saja Jayus menjadi objek berita berkenaan dengan kasus Talangsari yang terjadi delapan belas tahun lalu. Sebelumnya, majalah GAMMA edisi 1-7 Agustus 2001 (hal. 32-33), dengan judul Buka Tutup Tak Berujung, antara lain memberitakan bahwa Jayus bersama enam orang yang mengaku-ngaku sebagai mantan jamaah Warsidi menghadap LBH Lampung untuk mengungkap kembali kasus Talangsari.
 
Kiprah Jayus mengungkap kembali kasus Talangsari juga pernah dipublikasikan majalah GATRA no. 39 tahun VII edisi 18 Agustus 2001 (hal. 118), di bawah judul Menahan Laju Garuda Hitam[b]; juga oleh harian REPUBLIKA edisi 6 September 2001 (hal. 12), berjudul [b]Korban Kasus Talangsari Tolak Islah; tak ketinggalan, harian KOMPAS edisi 21 Desember 2001 (hal. 7), tentang keterlibatan Jayus bersama Kontras dan Smalam untuk mengungkap kembali kasus Talangsari.
 
Selama menjadi bagian dari komunitas Warsidi, saya mengenal Jayus alias Dayat bin Karmo (lahir tahun 1956) sebagai sosok yang ikhlas berjuang untuk menegakkan negara Islam, dengan menjadikan Cihideung (Talangsari) sebagai basis perjuangan.
 
Kini, nampaknya Jayus sudah kian banyak berubah, menjadi petualang politik yang punya motif komersial. Mungkin karena terdesak oleh kebutuhan ekonominya yang kian meningkat.
 
 
Dulu, mantan Danrem Garuda Hitam Hendropriyono pernah memenuhi permintaan Jayus untuk menguasai kembali sebidang tanah miliknya di lokasi bekas kejadian yang pernah dibeli oleh Lurah Amir Puspa Mega, tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun.
 
Di antara para elite kasus Talangsari, Jayus satu-satunya pelaku yang mendapat vonis paling ringan, hanya ditahan selama satu tahun. Padahal, Jayus adalah orang kedua setelah Almarhum Warsidi. Hal itu bisa terjadi karena Jayus telah “berjasa” dengan menunjukkan semua jamaah Warsidi yang ketika itu sedang berusaha melarikan diri ke Jakarta melalui Bakauheni.
 
Jayus bukanlah representasi dari keluarga korban pada umumnya. Ketika kasus Talangsari terjadi, Jayus melarikan diri dan bersembunyi ke dalam sungai di belakang lokasi kejadian. Dengan demikian Jayus sama sekali tidak mengetahui dengan persis kejadian tersebut.
 
Ketika saya masih mendekam di Nusakambangan, Jayus ketika itu dengan penuh semangat mensosialisasikan konsep ishlah dan memperoleh keuntungan finansial dengan adanya gerakan ishlah. Kini, ia justru gencar melakukan upaya pengungkapan kembali kasus Talangsari. Faktanya, kini hanya Jayus seorang yang menolak ishlah, sementara itu hampir seluruh keluarga korban dan pelaku kasus Talangsari sudah menerima ishlah, yaitu mereka yang berada di Jakarta, Solo maupun Lampung. Jayus satu-satunya pelaku kasus Talangsari asal Lampung yang setelah menerima ishlah kemudian menolak kembali karena punya motif komersial.
 
 Sikap mencla-mencle Jayus ternyata juga dikhawatirkan oleh keluarganya seperti Joko alias Sadar, yang sampai saat ini menyesali sikap Jayus yang semula menerima konsep ishlah kemudian mencabut dukungannya terhadap konsep ishlah, sementara anggota keluarga lainnya yang dulu dilibatkan Jayus untuk ishlah sampai kini masih tetap memilih ishlah sebagai solusi. Dengan demikian Jayus telah mengkhianati keluarga korban (dan anggota keluarganya sendiri).
 
Sebuah buku yang ditulis Abdul Syukur, berjudul Gerakan Usroh Di Indonesia: Peristiwa Lampung 1989, khususnya di halaman 113, menyajikan hasil wawancara penulis buku tersebut dengan Sukardi yang berlangsung pada 11 Januari 2001 di Jakarta, mendeskripsikan sosok Jayus sebagai berikut:

 
… Jayus adalah warga Umbul Cihideung yang menjadi anggota kelompok pengajian Warsidi. Jayus dikenal sebagai penjahat sebelum bergabung dengan kelompok pengajian Warsidi. Kawan Jayus yang bernama Joko dan Badar turut pula menjadi anggota kelompok pengajian Warsidi. Sedangkan Badar, kawannya yang lain sudah tertembak mati oleh penembakan misterius. Jayus menyesali semua perbuatannya di masa lalu dan ingin mengabdikan sisa hidupnya untuk mencari kebaikan sebagai penebus atas semua dosanya di masa lalu. Ia kemudian menyerahkan sebagian tanah warisan orangtuanya di Umbul Cihideung kepada Warsidi agar dimanfaatkan untuk keperluan mengembangkan agama Islam di Umbul Cihideung. Tanah pemberian Jayus di Umbul Cihideung itulah yang ditetapkan sebagai lokasi hijrah dalam pertemuan 12 Desember 1988 di Cibinong, Jawa Barat.

 
 
Dari berbagai buku tentang kasus Talangsari (Lampung) yang pernah diterbitkan oleh berbagai penerbit, kesemua buku-buku tersebut hanya menyinggung sosok Jayus sekedarnya. Jayus cuma disebut sebagai sosok yang menghibahkan 1,5 hektar tanahnya kepada Warsidi, dari sekitar 5 hektar tanah yang miliknya hasil warisan orangtuanya. Baru pada buku yang ditulis Abdul Syukur deskripsi tentang sosok Jayus ditampilkan sedikit rinci, itu pun melalui pihak ketiga.


Kasus Talangsari adalah Peristiwa Pemberontakan

Penulis: 
T DAUD YUSUF
  Polemik tentang kasus Talangsari, Lampung yang kini mencuat sebenarnya tidak perlu dipertajam jika diletakkan dalam koridor hukum, baik yang menggunakan pendekatan normatif maupun sosiologis dan filosofis.
 
Maka, kasus Talangsari tidak digunakan dengan tendensi politik tertentu. Penyelesaian kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu seyogianya menggunakan restorative justice, semua pihak harus memahami hukum acara yang berlaku, baik oleh penyelidik, penyidik, penuntut umum, maupun pengadilan, agar tidak melakukan pelanggaran hukum sekadar hanya karena ingin menegakkan hukum.
 
Apa yang dinyatakan Presiden Susilo BambangYudhoyono, bahwa peristiwa Talangsari adalah pemberontakan merupakan realitas hukum yang tak dapat diingkari, karena berbagai putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap sudah menetapkan, pelaku yang berhadapan dengan aparat keamanan di Talangsari terbukti telah melakukan makar. Di antara pelakunya telah dijatuhi pidana, mulai dari yang terberat hingga pidana penjara.
 
Apa yang dilakukan aparat keamanan dalam kasus Talangsari tahun 1989 lalu adalah pertempuran untuk menumpas pemberontakan. Hal itu diakui jujur kepada media massa oleh sejumlah pelaku makar itu. Belum lagi dalam realitasnya, kelompok makar itu lebih dulu menyandera dan membunuh aparat keamanan.
 
Tugas dan kewajiban TNI memang untuk menumpas tiap pemberontakan bersenjata demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika aparat keamanan yang menumpas pemberontakan di Talangsari diusut dengan tuduhan pelanggaran HAM berat, bagaimana dengan operasi penumpasan pemberontakan lain, termasuk terhadap DI/TII dan Permesta?
 
Hanya ada dua solusi untuk penyelesaian kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU No 26/2000. Pertama, jika sarat dengan tindak pidana tertentu, maka diproses sebagai perkara tindak pidana umum.
 
Kedua, menekan DPR merevisi UU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sehingga seluruh kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lampau dapat diselesaikan secara rekonsiliasi dan kepada korban dapat mendapat kompensasi atau restitusi. (okezone)
 
T DAUD YUSUF
Bukit Duri Selatan, Tebet
JAKARTA SELATAN
daud_ysf@yahoo.com

Alfred Febriantoni, said : GPK Gerakan Pengacau Keamanan.

Jika di era millenium ini pasti julukannya Teroris, tapi bahasa era itu (1987-1989) GPK atau Gerakan Pengacau Keamanan, Ceilee... Lucu bangeeets. GPK Warsidi makar! Dan hendak mengganti ideologi negara Pancasila dengan bla, bla..bla. Warsidi nya gak Lulus SD tuh, jd gmn caranya? Hahaa lihat monas aja belum pernah kali orang itu... Makar? Absurd. alfred_febriantoni@ymail.com

Alfred Febriantoni, said : GPK Gerakan Pengacau Keamanan.

Jika di era millenium ini pasti julukannya Teroris, tapi bahasa era itu (1987-1989) GPK atau Gerakan Pengacau Keamanan, Ceilee... Lucu bangeeets. GPK Warsidi makar! Dan hendak mengganti ideologi negara Pancasila dengan bla, bla..bla. Warsidi nya gak Lulus SD tuh, jd gmn caranya? Hahaa lihat monas aja belum pernah kali orang itu... Makar? Absurd. alfred_febriantoni@ymail.com
 

Mendirikan Negara Islam di Talangsari

Penulis: 
RIYANTO
PERISTIWA Talangsari (Lampung) yang terjadi 6-7 Februari 1989, bukanlah kasus ketidak-adilan yang berujung pada terjadinya huru-hara. Juga, bukan kasus sekelompok petani yang dirugikan negara atau aparatnya, kemudian melakukan aksi kekerasan. Bukan pula kasus pelanggaran HAM, yang dilakukan aparat dengan jalan menembaki sekelompok orang (jamaah Warsidi) yang innosence.
 
Tetapi, merupakan perjuangan ideologi yang diwujudkan dalam bentuk perang (qital) antara sekelompok orang yang sudah siap mati syahid –demi tegaknya sebuah Negara Islam yang menyempal dari NKRI– dengan aparat negara yang menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI.
 
Untuk mendirikan sebuah Negara Islam – seperti dimaksudkan oleh sejumlah anak muda yang saat itu sedang berada di puncak gairah mempelajari agama– diperlukan sebuah pilot project, sebuah kawasan percontohan semacam Islamic Village (Perkampungan Islam).
 
Pilihan itu jatuh pada sebuah lahan seluas satu setengah hektar milik Warsidi –tanah hibah dari Jayus alias Dayat bin Karmo – yang terletak di Dukuh Cihideung, Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Lampung Tengah.
 
Setelah ada kesepakatan antara Warsidi dengan ‘aktivis dari Jakarta’ mengenai rencana menjadikan Cihideung sebagai embrio Negara Islam, maka terhitung Desember 1988 terjadi proses ‘hijrah’ sejumlah orang dari Jawa ke Cihideung.
 
Cihideung rencananya tidak saja dijadikan perkampungan islami, tetapi disiapkan untuk menjadi semacam institute of suffah yang membekali komunitasnya tidak saja dengan pengetahuan agama tetapi juga keterampilan berperang.
 
Kepada jamaah diberlakukan doktrin, antara lain, jamaah di luar mereka adalah kafir. Seorang ulama pun, bila tidak mengikuti hukum Allah, maka tergolong kafir. Bahkan, darahnya halal bila dianggap menghalang-halangi cita-cita dan perjuangan. Kedua, menolak Pancasila sebagai azas. Ketiga, puasa selang-seling selama 40 hari, membaca wirid dan shalat malam berjamaah supaya jiwanya siap menjadi syahid. Doktrin ini menunjukkan bahwa mereka memang siap mati syahid, bukan sekedar berkumpul untuk membangun kampung islami atau komunitas pengajian belaka.
 
Warsidi setelah menginternalisasi doktrin tersebut, ia menjadi sosok berbeda dari sebelumnya. Setelah kedatangan ‘aktivis dari Jakarta’ Warsidi kian vokal. Dalam setiap khotbahnya, Warsidi menebarkan permusuhan. Pemerintah divonis kafir, dan Pancasila adalah berhala. Semangat mendirikan Negara Islam sudah semakin tegas terlihat. Penolakan Warsidi terhadap keberadaan pemerintahan Soeharto (Orde Baru) kala itu, diwujudkan dengan menolak membayar pajak, menolak mengantongi Kartu Tanda Penduduk (KTP).
 
Para ‘muhajirin’ dari Jawa dan daerah lainnya, yang sepaham dengan Warsidi, merasa tidak perlu mengikuti prosedur administrasi kependudukan yang berlaku karena prosedur itu dibuat oleh pemerintahan kafir. Oleh karenanya, mereka tidak melaporkan diri ke aparat setempat atas kedatangannya ke dukuh Cihideung. Jumlah para ‘muhajirin’ ini setiap hari kian bertambah, sehingga menimbulkan tanda tanya di dalam diri Sukidi.
 
Kedatangan para ‘muhajirin’ yang tiba-tiba dalam jumlah relatif besar (sekitar 100 jiwa), ternyata tidak diimbangi dengan kesiapan logistik: sandang, pangan, papan. Sehingga, terjadilah ‘pencurian’ singkong milik warga sekitar, berumpun bambu, dan berbutir kelapa. Para ‘muhajirin’ ini merasa berhak atas itu semua, karena semua itu pada dasarnya milik Allah, dan Allah mewariskan bumi dan segala isinya bagi orang-orang saleh, dan yang dimaksud dengan orang-orang saleh adalah kelompok mereka sendiri.
 
Tak cuma itu, sejumlah anak buah Warsidi pernah mendatangi Sukidi dengan membawa-bawa golok dan pedang, seolah-olah menantang perang. Maka, masyarakat pun menjadi tak tenang, resah dan ketakutan. Akibatnya, sebagian dari warga pun mengungsi meski harus meninggalkan harta-benda miliknya. Tak ketinggalan Sukidi dan keluarganya yang memutuskan pindah ke dusun lain, untuk menjauh dari teror yang dilancarkan jamaah Warsidi.
 
Meski begitu, Sukidi tidak tinggal diam. Sebagai Kepala Dusun, semua itu ia laporkan kepada atasannya, Amir Puspa Mega, Kepala Desa Rajabasa Lama, pada tanggal 11 Januari 1989. Berdasarkan laporan Sukidi itu, Amir Puspa Mega mengirimkan sepucuk surat kepada Zulkifli Maliki, Camat Way Jepara, pada tangal 12 Januari 1989.
 
Hari itu juga, Camat Way Jepara Zulkifli Maliki menyurati Warsidi dan Jayus, juga Amir Puspa Mega dan Sukidi. Surat Camat diterima Warsidi sore hari, yang langsung dibalasnya beberapa menit setelah dibaca. Isinya:
Dengan hormat,
 
Bahwa surat yang kami terima, sudah kami ketahui isinya.
Perlu diketahui kami dalam kesibukan, dalam mengisi pengajian di berbagai tempat.

Oleh sebab itu kami tidak bisa datang ke Kantor Bapak.
Kami sebagai orang Islam yang sangat menjunjung tinggi Sunnatulloh dan Sunnaturrosul dalam sebuah Hadist dikatakan:

Sebaik-baiknya Umaro ialah yang mendatangi Ulama dan seburuk-buruknya Ulama yang mendatangi Umaro.

Oleh karenanya kami mengharap kedatangan Bapak di tempat kami untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.

Demikian harap maklum...
Semoga Allah memberi hidayahNya.

Jadi, Warsidi telah memposisikan dirinya sebagai ulama yang seharusnya didatangi oleh umaro.
 
Untuk memenuhi undangan Warsidi, esok harinya 13 Januari 1989 menjelang Ashar sekitar pukul 15:00 waktu setempat, Camat Way Jepara Zulkifli Maliki bersama Kepala Desa Rajabasa Lama, Kepala Desa Labuhan Ratu, Kepala Dusun Talangsari III, Kepala Dusun Kelahang dan beberapa staf tiba di kediaman Warsidi.
 
Pertemuan yang berlangsung di rumah panggung selama satu jam itu, terasa menegangkan dan tidak bersahabat. Ketika itu, ada sekitar 30 orang di dalamnya. Zulkifli Maliki sempat mendengar seseorang berbisik: “Bunuh saja Camat itu”. Suara itu datang dari arah belakang.
 
Mengakhiri pertemuan itu, menjelang pamit, Zulkifli mengundang Warsidi untuk menemuinya di kantor Camat. Ketika itu Warsidi berjanji akan memenuhi undangan tersebut, Sabtu, 14 Januari 1989. Namun hingga akhir hayatnya Warsidi tak kunjung datang.
 
Dua minggu kemudian, 27 Januari 1989, Camat Way Jepara Zulkifli Maliki melaporkan hal ini kepada Kapten Soetiman Komandan Koramil Way Jepara. Esok harinya, sepucuk surat dilayangkan Kapten Soetiman kepada Warsidi, untuk segera memenuhi panggilan Camat, paling lambat 1 Februari 1989.
 
Tanggal 1 Februari 1989, Warsidi tak juga datang. Malah menurut pantauan Lurah Rajabasa Lama Amir Puspa Mega, Warsidi dan anak buahnya melakukan kegiatan tak lazim, seperti belajar memanah, latihan beladiri, dan merakit bahan peledak dari botol bekas minuman anggur. Nampaknya mereka sedang menyiapkan genderang perang untuk ditabuh.
 
Esok harinya, 2 Februari 1989, Kepala Dusun Talang Sari III Sukidi menyelinap mendekat lokasi. Dari balik semak, ia melihat kejanggalan: ada sejumlah anak muda dibalut pangsi hitam dengan ikat kepala, bersenjata pedang, celurit, golok, dan panah. Nampaknya, genderang perang sudah semakin siap ditabuh. Sukidi pun melaporkan temuannya kepada Komandan Koramil Kapten Soetiman.
 
Pada 5 Februari 1989, Soetiman memerintahkan Serma Dahlan dan Kopda Rahman mendekati lokasi. Malam hari sekitar pukul 23.30, keduanya mencurigai dan menangkap 6 pemuda tanggung. Dari mereka, disita sekarung anak panah, 5 bilah golok, 2 bilah pedang, dan 2 paket bom molotov. Mereka bernama: Sardan bin Sakip (15 tahun), Mujiono bin Sadik (15 tahun), Parman bin Bejo (19 tahun), Sidik bin Japar (16 tahun), Saroko bin Basir (16 tahun). Seorang lagi benama Sadar alias Joko –kakak kandung Jayus alias Dayat bin Karmo yang kala itu berusia sekitar 40 tahun– berhasil melarikan diri dalam perjalanan menuju kantor Kelurahan. Ditemukannya sejumlah perlengkapan perang seperti anak panah hingga bom molotov, menunjukkan bahwa rencana perang memang sudah sedemikian serius.
 
Dini hari tanggal 6 Februari, Warsidi mendapat kabar tertangkapnya 5 orang jamaahnya. Tak buang tempo, pada dini hari itu juga, sekitar jam 02:00 wib, Warsidi memerintahkan sejumlah orang untuk membebaskan 5 orang jamaahnya yang katanya ditahan di Koramil Way Jepara, padahal sebenarnya masih berada di rumah Sukidi (Kepala Dukuh Talangsari III). Pasukan khusus yang bertugas membebaskan 5 jamaah Warsidi ini adalah pasukan terlatih berjumlah sekitar 12 orang, dengan persiapan perang yaitu membawa golok, panah, dan bahan peledak. Mereka tiba di Koramil Way Jepara sekitar pukul 6:00 pagi. Namun dikabarkan, bahwa tahanan 5 jamaah Warsidi sudah dikirim ke Kodim Metro. Upaya pembebasan ini gagal. Pasukan Khusus di bawah pimpinan Riyanto ini pun menuju Sidorejo untuk mengatur strategi penyerangan di Bandar Lampung. Mereka tiba di Sidorejo jam 08:00 pagi. Di Sidorejo, mereka kumpul-kumpul, makan dan shalat dzuhur di rumah pak Zamzuri.
 
Siang itu Riyanto mengutus Fadhilah ke Cihideung untuk minta petunjuk dari Warsidi mengenai langkah selanjutnya. Fadhilah tiba di Cihideung sekitar jam 14:00 wib, pasca kejadian tewasnya Kapten Soetiman.
 
Tanggal 6 Februari 1989 siang, sebelum Fadhilah tiba, Kapten Inf. Soetiman bersama rombongannya mendatangi Talangsari, dengan maksud melakukan klarifikasi atas ketidak-hadiran Warsidi memenuhi panggilan Camat serta Danramil. Klarifikasi ini disangka sebagai sebuah “serangan”.
 
Karena, kedatangan rombongan Kapten Soetiman yang bertepatan dengan saat shalat Dzuhur itu, diawali dengan adanya suara tembakan. Sebagian jama’ah Warsidi yang ketika itu baru saja menunaikan shalat Dzuhur, ketika mendengar suara letusan senjata itu langsung berhamburan “menjemput” rombongan Kapten Soetiman, dibarengi dengan teriakan Allahu Akbar, takbir yang susul-menyusul, juga lesatan anak panah dari balik semak yang mengarah ke tubuh Soetiman.
 
Puluhan anak buah Warsidi lainnya berhamburan keluar dari rumah-rumah bambu sambil mengacungkan berbagai senjata, menyerang rombongan Kapten Soetiman. Mayor Sinaga dengan sigap memerintahkan mundur. Seketika itu, kendaraan Sinaga berbelok arah dengan menerjang pepohonan, meninggalkan lokasi. Berbeda dengan Sinaga yang selamat, Kapten Soetiman menjadi bulan-bulanan anak buah Warsidi yang tengah kesetanan. Ia dikejar-kejar, tubuhnya dikoyak-koyak, dan lehernya ditebas sampai tewas oleh mbah Marsudi.
 
Kalau saja Mayor Sinaga tidak sigap memerintahkan mundur, mungkin akan banyak korban yang jatuh, tidak hanya Kapten Soetiman. Ketika itu, selain Mayor Sinaga dan Kapten Soetiman, rombongan terdiri dari Dul Bakar (Kapolsek Way Jepara), Amir Puspa Mega (Kepala Desa Rajabasa Lama), Sukidi (Kepala Dusun Talangsari III), Dahlan (Kepala Tata Usaha Koramil), Drs. Zulkifli Maliki (Camat Way Jepara), Polisi Pamong Praja, dan seorang personil KUA (Kantor Urusan Agama).
 
Jenazah Kapten Soetiman kemudian dikuburkan ba’da Ashar di lokasi tempat kejadian. Persisnya di jalan menuju ke Hujan Mas.
 
Satu pucuk pistol jenis FN dan dua unit sepeda motor yang tertinggal di lokasi karena ditinggal kabur oleh rombongan Mayor Sinaga, akhirnya diambil alih jama’ah Warsidi.
 
Pasca pertempuran, kira-kira sore hingga ba’da Maghrib, terjadi eksodus besar-besaran. Jumlahnya mencapai puluhan orang. Mereka meninggalkan lokasi untuk menuju ke berbagai tempat seperti Jakarta dan berbagai daerah di Sumatera Selatan. Sehingga jama’ah Warsidi yang tertinggal saat itu hanya 58 jiwa (termasuk wanita dan anak-anak).
 
Pasca terbunuhnya Kapten Soetiman, 6 Februari 1989, sore hari sekitar jam 17:00 wib Fadhillah kembali ke Sidorejo, dengan membawa perintah dari Warsidi untuk membuat kekacauan di Tanjung Karang, dalam rangka mengalihkan perhatian aparat pasca terbunuhnya Kapten Soetiman.
 
Perintah Warsidi tersebut disampaikan Fadhillah kepada Komandan Pasukan Khusus, yang langsung membuka forum musyawarah di antara sesama anggota pasukan khusus (12 orang), pak Zamzuri (tuan rumah) dan pak Sudiono (almarhum), juga beberapa anggota jamaah pengajian yang dibina pak Zamzuri.
 
Ba’da Maghrib perintah tersebut mulai dilaksanakan. Dari Sidorejo tiga orang berangkat menuju Simpang Sri Bawono untuk mencarter colt angkutan umum. Setelah memperoleh colt carteran (namun pada akhirnya tidak dibayar sama sekali), ketiganya kembali ke Sidorejo untuk menjemput anggota pasukan khusus lainnya yang masih siaga di rumah Zamzuri. Kesebelas anggota pasukan khusus ini berangkat (minus Sony yang tetap tinggal di Sidorejo) ke Tanjung Karang untuk melaksanakan perintah Warsidi.
 
Di tengah jalan, Pratu Budi Waluyo, personel TNI dari Batalyon 143 Garuda Hitam mendesak ikut colt Wasis yang sudah dicarter ini, untuk menuju Tanjung Karang.
 
Selama perjalanan menuju Tanjung Karang, terjadi dialog antara 11 angggota pasukan khusus Warsidi dengan Pratu Budi Waluyo. Dari dialog itulah diketahui, bahwa Pratu Budi Waluyo besok (7 Februari 1989) akan ikut melakukan penyerangan ke Cihideung. Mengetahui hal ini, Komandan pasukan khusus berinisiatif menghabisi Pratu Budi Waluyo dengan mendapat bantuan dari anggota pasukan lainnya. Pratu Budi Waluyo dihujani tusukan hingga tewas.
 
Sopir (bernama Sabrawi) dan kenek angkutan umum yang melihat kejadian ini, sudah masuk dalam rencana untuk dibunuh oleh jama’ah Warsidi. Namun berhasil melarikan diri dalam keadaan luka parah. Sopir dan kenek yang berhasil lolos dari maut inilah yang kemudian melaporkan kejadian berdarah dan perampasan colt kepada kawan-kawan sesama sopir, juga kepada Polisi.
 
Karena sopir dan kenek melarikan diri, kemudi diambil alih oleh Sugeng Yulianto, dan melanjutkan perjalanan ke Tanjung Karang. Di Tanjung Karang, sebelum melakukan aksi, diputuskan untuk mengisi bahan bakar dulu di pom bensin. Sialnya, lampu mobil mati, sehingga tidak layak untuk tetap digunakan dalam melakukan aksi ke Polres Tanjung Karang dan Korem Garuda Hitam. Karena dikhawatirkan, dalam keadaan lampu mobil yang tidak hidup, di tengah jalan keburu kena tilang atau ditangkap polantas. Akhirnya rencana serangan ke Polres Tanjung Karang dan Korem Garuda Hitam gagal dilaksanakan. Sasaran dipindahkan ke kantor Lampung Post. Di kantor Lampung Post, Komandan melemparkan bom molotov, namun tidak berhasil meledak.
 
Setelah gagal meledakkan kantor Lampung Post, pasukan melanjutkan perjalanan ke Metro Lampung. Di tengah jalan ada razia polantas. Kendaraan distop oleh polantas, namun Sugeng Yulianto menolak, malahan polantas tadi ditabrak hingga pingsan, setelah sebelumnya berusaha meloncat untuk menghindari serudukan colt yang dikemudikan Sugeng.
 
Setelah menyeruduk polantas, diputuskan untuk menyembunyikan mobil ke hutan Tigeneneng (Tegineeng). Namun belum sampai disembunyikan, mobil telah lebih dulu terperosok ke dalam parit sehingga harus ditinggalkan. Pasukan berjumlah 11 orang ini pun masuk ke dalam hutan Tigeneneng (Tegineeng), bersembunyi hingga jam 07:00 pagi hari berikutnya (tanggal 7 Februari 1989).
 
Pasukan khusus ini belum tahu bahwa saat itu sejak pagi hari tadi aparat sudah mengepung Cihideung, dan sudah berlangsung peperangan yang konyol antara komunitas Warsidi dengan aparat. Komandan pasukan mengutus 3 orang di antara mereka (Beni, Muchlis dan Muhadi) ke Cihideung untuk meminta petunjuk dari Warsidi. Ternyata Muhadi kembali ke hutan hanya seorang diri (tanpa Beni dan Muchlis), sekitar jam 12:00 siang. Ia memperingatkan agar pasukan segera meninggalkan hutan karena sudah dikepung aparat.
 
Muhadi pun bergabung dengan Beni dan Muchlis berinisiatif melakukan aksi penyerangan ke Kodim Metro tanpa sebelumnya mendapat perintah dari Komandan pasukan.
 
Setelah mendapat peringatan dari Muhadi, Komandan memutuskan untuk ke Cihideung, dengan menempuh jalur berbeda. Anggota pasukan yang tersisa 8 orang dibagi menjadi tiga kelomopok. Kelompok pertama terdiri dari Riyanto, Zainuri dan Heriyanto. Kelompok kedua, terdiri dari Fadhilah dan Tardi Nurdiansyah. Kelompok ketiga terdiri dari Sugeng Yulianto, Abadi Abdullah dan Sadikin.
 
Kelompok pertama tiba di Cihideung sekitar jam 16:00 wib, sore hari, ketika perang sudah usai. Dua kelompok lainnya ada yang tiba pukul 19:00 dan 20:00 malam. Ketika itu Cihideung sudah rata dengan tanah.
 
Sebelumnya, sekitar jam 05:30 wib tanggal 7 Februari 1989, tiga pleton tentara, 50 orang satuan Brimob, mengepung Cihideung dari empat penjuru. Petugas memperingatkan Warsidi berulang-ulang melalui pengeras suara untuk menyerahkan jenazah almarhum Kapten Soetiman. Tidak ada tanda-tanda kompromi, malahan yang terdengar adalah seruan berjihad. Tak berapa lama kemudian, anggota jama’ah Warsidi berhamburan keluar sambil membawa panah dan golok untuk menyerang petugas yang bersenjata lengkap. Pada peristiwa ini, Kopda Yatin tersungkur dengan punggung tertancap panah beracun. Jama’ah Warsidi yang ketika itu berjumlah 58 jiwa (termasuk wanita dan anak-anak), sebagian besar meninggal. Laki-laki dewasa meninggal karena pertempuran, sedangkan wanita dan anak-anak meninggal karena ikut terbakar bersama pondok tempat mereka selama ini bermukim. Pondok dibakar oleh salah satu jama’ah Warsidi sendiri.
 
Sementara itu, pada hari dan tanggal yang sama, 7 Februari 1989, di Sidorejo yang terpisah jarak sepanjang 30 kilometer dari Cihideung yang saat itu sedang bergejolak peperangan, sekitar pukul 08:00 wib seorang wanita anggota Banpol (Bantuan Polisi) bernama Atim mencurigai kediaman Zamzuri sebagai tempat persembunyian pasukan khusus Jama’ah Warsidi yang malam tadi melakukan aksi teror di Bandar Lampung, merampas colt angkutan umum dan membunuh Pratu Budi Waluyo.
 
Atim bertemu dengan istri Zamzuri, dan dipersilakan masuk. Tak berapa lama, Atim keluar lagi dari rumah itu, sambil dikejar oleh seseorang dari dalam rumah yang di tangannya mencencang sebilah golok sambil meneriakinya “maling…” Atim dikejar hingga sejauh 200 meter. Atim pun masuk ke rumah salah satu penduduk setempat, Mukaji, untuk menyelamatkan diri.
 
Si pengejar tidak terus mengejar hingga ke dalam rumah Mukaji, tetapi berbalik arah ke rumah Zamzuri. Di tengah jalan, di depan Pos Polisi ia dicegat Serma Soedargo (Kepala Pos Polisi) dan memerintahkannya untuk berhenti. Permintaan itu ditolak, dan berlanjut dengan terjadinya perkelahian. Serma Soedargo tewas dibacok, setelah sebelumnya sempat menembak Giono, anggota jamaah Warsidi di Sidorejo. Korban lain adalah Arifin Santoso (Lurah Sidorejo) ditebas batang lehernya oleh Zamzuri hingga tewas di tempat. Masih ada satu lagi korban dari aparat kepolisian bernama Sembiring. Ia ketika itu sudah roboh di tanah dan dipegangi oleh pak Roni menjadi sasaran tembak dari jarak dekat oleh salah satu jama’ah Warsidi bernama Fahruddin. Namun karena kurang terbiasa menggunakan senjata api, tembakan itu meleset dan justru mengenai kaki pak Roni. Sembiring ketika itu pura-pura mati, namun begitu ada keempatan lari, ia pun melarikan diri secepat-cepatnya.
 
Maksud mendirikan perkampungan Islam sebagai embrio mendirikan Negara Islam telah menghasilkan peristiwa berdarah. Belakangan disadari oleh sebagian mantan jamaah Warsidi sendiri, bahwa maksud itu ternyata ibarat cek kosong yang diberikan kepada Warsidi. Sebab, yang kemudian terlihat adalah mensosialisasikan keterampilan membuat panah oleh anak-anak Jakarta kepada jamaah Warsidi, juga latihan baris berbaris ala militer. Ternyata, maksud sebenarnya bukanlah mendirikan perkampungan Islam, tetapi sebuah persiapan melakukan peperangan melawan aparat sipil (dan tentara). Dan rencana itu sudah dirancang Nurhidayat dan kawan-kawan sejak mereka masih di Jakarta.
 
Kasus Talangsari adalah sebuah perlawanan bersenjata primitif – dalam bahasa pergerakan disebut qital – yang perencanaannya sudah disusun jauh sebelum kasus Talangsari itu terjadi (Februari 1989), oleh Nur Hidayat, Sudarsono, Fauzi Isnan, Alex, Margo, yang disebut-sebut sebagai "aktivis dari Jakarta". Sehingga pendekatan yang dilakukan oleh aparat adalah pendekatan di medan perang, apalagi sebelumnya telah jatuh korban jiwa dari pihak aparat (Komandan Koramil Kapten Soetiman, siang hari tanggal 6 Februari 1989, dan Pratu Budi Waluyo, malam harinya).
 
Dapatkah kalimat Allah ditegakkan dengan arogansi yang mengatas-namakan agama? Dapatkah kekerasan dan kemungkaran dijadikan landasan mendirikan Negara Islam yang rahmatan lil ‘alamin?